Archive for the ‘Renungan Harian’ Category

Kasih dan Ketaatan

Posted: February 20, 2013 in Renungan Harian, Uncategorized

Image

Antara kasih dan ketaatan dapat digambarkan seperti keping mata uang yang terdiri dari dua sisi yang berbeda, namun tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan. Jikalau ada kasih, namun tidak ada ketaatan, kasih itu mati. Demikian pula, bila ada ketaatan namun tidak ada kasih, ketaatan itu kosong. Tanpa kasih dan keadilan, hidup akan terasa hampa, bagaikan gong berkumandang dan canang yang gemerincing.

Pada perikop ini kita belajar bahwa mengasihi Yesus ada dua level proses yang harus kita lalui yaitu level motivasi dan aplikasi untuk memegang dan menuruti segala perintah Yesus. Upah dari mengasihi Yesus dengan cara yang benar adalah Yesus dan Bapa akan mengasihi kita dan akan berdiam di dalam kita. Jika Yesus dan Bapa datang dan diam di dalam kita, orang-orang di sekitar kita pasti akan menikmati kehadiran Tuhan di dalam segala keberadaan kita.

Dalam kehidupan bersatya wacana seringkali kita mengatakan mengasihi di mulut namun kita tidak memegang dan melakukan segala perintah Yesus. Terdapat banyak kebohongan dan kemunafikan bahwa seolah-olah kita menaati-Nya. Diperlukan konsistensi antara perkataan kasih dan ketaatan untuk memegang dan melakukan segala perintah-Nya 🙂

Yohanes 14 : 23
“Jawab Yesus: “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia”

Hadiah Seorang Malaikat Kecil

Posted: November 14, 2012 in Renungan Harian

Pada suatu hari, di sebuah desa ada seorang nenek tua yang sakit-sakitan. Nenek tua ini hidup dari belas kasihan orang-orang. Nenek tua ini tinggal berdua dengan cucunya yang masih remaja karena dari kecil mamanya meninggalkannya dan papanya meninggalkan mamanya saat mamanya mengandung anak remaja ini. Singkat cerita dia sama sekali tidak mengenal orangtua-nya. Semenjak bayi, sang cucu dirawat dengan penuh kasih sayang dari sang nenek sampai tiba waktunya nenek itu sudah tua dan mulai sakit-sakitan. Anak remaja ini sangat sedih melihat kondisi neneknya dan ingin membawa neneknya ke rumah sakit namun tidak ada uang. Sedangkan untuk bersekolah saja tidak bisa, anak remaja ini sekolah sampai kelas 3 SMP. Desa yang ditempati oleh mereka adalah desa yang sangat jarang penduduknya dan merupakan desa terpencil. Dia tidak tahu harus bagaimana sementara kondisi neneknya makin parah.
Sementara cucunya ( anak remaja ini) berjalan kian kemari meminta pertolongan. Sambil mengamen di jalanan untuk biaya makan dan berobat neneknya, ada seorang anak TK yang melambaikan tangan ke arah anak remaja itu dari dalam mobil. Anak remaja itu melihat ke arah anak TK itu dan anak TK itu memanggilnya “Hai kak, ayo kemari”. Di tangan anak itu dipegangnya sebuah kantong plastik berwarna hitam lalu diberikannya.
Sang remaja ini heran dan membukanya dan ternyata nasi kotak dengan lauk yang enak. Sang remaja ini berpikir “Pas sekali, bisa dimakan untuk kami berdua dengan nenek.” Lalu anak remaja itu mengucapkan terima kasih kepada anak TK ini dan segera pergi membawanya kepada neneknya.
Namun, sementara anak remaja ini hendak pergi, sang anak TK itu memanggil lagi “Kak kemari!”. Lalu dia melap mukanya yang kotor dan bajunya yang kusam dan bau dan segera menghampiri anak TK ini.
Sang remaja berkata ”Ada apa dik ? ” Dia terheran-heran dengan anak TK ini. Lalu sang ayah membuka mobilnya dan segera turun menjumpainya. Anak remaja ini mulai ketakutan dan berkata ” Ada apa pak, apakah saya salah ?”
Lalu sang bapak segera tertawa dan mengajak remaja itu naik ke mobilnya bersama anaknya untuk pergi jalan-jalan ke mal. Spontan anak remaja itu menolak dan mengatakan, “Tidak usah, terima kasih. Di rumah saya ada seorang nenek yang sedang menunggu saya , namun dia sedang sakit keras, dia butuh pengobatan untuk kesembuhannya dan jikalau tidak maka nenek akan segera meninggal”.
Bapak itu terharu, sementara anaknya yang TK asyik merengek meminta anak remaja itu ikut . Bapak itu berkata “Nak, naiklah, kita pergi membeli pakaian untukmu dan kemudian kita segera pergi ke rumahmu dan membawa nenekmu ke rumah sakit.”
Remaja itu menangis seolah tidak percaya maka dia menanyakan ulang “Apa pak,benarkah demikian?”
Bapak itu mengatakan ” Betul nak, mari naiklah.”
Singkat cerita bapak itu naik dan kemudian dia baru menyadari bahwa bapak dan anak TK itu adalah orang Kristen. Kemudian remaja ini bertanya ” Pak, kenapa bapak dan anak bapak baik sekali pada kami orang pengamen?”
Lalu bapak itu tersenyum dan berkata “Nak, ini adalah hadiah terindah yang Tuhan berikan kepadamu yaitu lewat seorang anak TK yang memberikan nasi kotak yang dimilikinya untukmu dan terlebih lagi nenekmu akan segera sembuh dan kamu akan segera sekolah kembali dan tinggal di rumah kami yang besar.”
Remaja ini menangis terharu dan berkata “Terima kasih Tuhan, hari ini Engkau memberikan kepadaku malaikat kecil yang mau membantuku dan seorang bapak yang mau memperhatikan keadaanku.”
Dalam kehidupan ini banyak cara yang Tuhan pakai untuk menolong sesama yang kurang mampu. Tuhan akan mengirim malaikat-malaikat kecilnya untuk membantu sesama dan semua yang dilakukan kepada orang yang berkekurangan maka itu juga dilakukannya untuk kemuliaan nama Tuhan.
Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku. (Matius 25:40).

Gembok dan Anak Kunci

Posted: September 23, 2012 in Renungan Harian

Apakah ada diantara Anda yangg memiliki profesi seorang guru,dosen, atau pengajar ?
Pada saat Anda menguji anak didik Anda dalam sebuah tes, saya yakin bahwa ketika Anda memberikan pertanyaan, Anda pastinya sudah memiliki jawabannya juga. Tidak mungkin Anda memberikan soal kepada mereka sementara Anda sendiri tidak tahu jawaban dari soal yang Anda berikan tersebut.

Hal yang sama berlaku pada sebuah pabrik pembuatan gembok. Mereka tidak hanya menciptakan gembok, tapi juga membuat kunci untuk setiap gembok tersebut. Bayangkan betapa konyolnya jika mereka hanya jual gembok tanpa anak kunci.

Dua analogi sederhana di atas kiranya memberikan pencerahan kepada kita, bahwa hal yang sama Tuhan lakukan dalam hidup kita.
Ketika Tuhan mengijinkan sebuah persoalan, maka sesungguhnya Dia sudah punya jawaban untuk persoalan tersebut. Tuhan tidak pernah membiarkan kita mengalami persoalan yang tak terpecahkan atau masalah yang tidak ada jalan keluarnya. Tuhan menyediakan kunci untuk setiap pergumulan hidup yang kita alami.
Tuhan tidak hanya menyediakan jawaban atau kunci untuk setiap masalah yang kita alami, tetapi Dia juga bijak dalam mengukur kemampuan dan kapasitas kita dalam menanggung persoalan. Tuhan tidak akan pernah memberikan soal yang melebihi kemampuan kita.

Bukankah seorang guru tidak akan memberikan soal kelas VI untuk anak yg masih kelas I ? Jika seorang guru saja bisa demikian bijak dalam menakar kemampuan kita, apalagi Tuhan ?
Melalui kebenaran ini kita diingatkan agar jangan sampai menjadi orang yang mudah mengeluh dan merasa persoalan yang kita alami sangat berat dan tak tertanggungkan. Jangan juga kita menjadi orang yang mudah putus asa karena berpikir masalah kita tidak ada jalan keluarnya. Ingatlah bahwa ada soal berarti ada jawaban, ada gembok berarti ada kuncinya.
Ketika Tuhan mengijinkan sebuah persoalan, Dia sudah menyediakan kunci jawabannya. Amin 🙂

Sumber : antigalau-cg.blogspot.com

Sepasang Sepatu

Posted: September 9, 2012 in Renungan Harian

Inilah kisah seorang anak yang mempunyai mentalitas seorang yang besar…..
Seraya Gandhi melangkah ke atas keretapi suatu hari, salah satu sepatunya terjatuh ke atas landasan.
Ia tidak dapat mengambilnya karena kereta sudah mulai bergerak. Gandhi melakukan sesuatu yang membuat  orang-orang di sekitarnya kaget.  Ia dengan tenang menanggalkan sepatunya yang lain dan melemparnya ke atas landasan, berdekatan dengan posisi sepatunya yang satu lagi.
Saat ditanya mengapa ia melakukan itu, Gandhi tersenyum, “Orang miskin yang menemukan sepatu yang terlempar di atas landasan,” ia menjawab, “akan menemukan sepasang sepatu yang dapat dipakainya.”
-(Dikutip pertama kali dari The Little Brown Book of Anecdotes)-
Seorang yang besar adalah orang yang mempunyai mentalitas yang tidak mementingkan dirinya sendiri, tetapi juga mementingkan kepentingan orang lain. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang berjiwa besar dan layak untuk Tuhan beri kepercayaan lebih di dalam hidupnya.
Filipi 2:4 “dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.”
1 Kor 10:33 “Sama seperti juga aku berusaha menyenangkan hati semua orang dalam segala hal, bukan untuk kepentingan diriku, tetapi untuk kepentingan orang banyak, supaya mereka beroleh selamat.”
Tuhan Yesus memberkati 🙂

Mama Dimana?

Posted: August 28, 2012 in Renungan Harian

Los Felidas adalah nama sebuah jalan di ibu kota sebuah negara di Amerika Selatan, yang terletak di kawasan terkumuh diseluruh kota. Ada sebuah kisah yang menyebabkan jalan itu begitu dikenang orang.

Itu dimulai dari kisah seorang pengemis wanita yang juga ibu seorang gadis kecil. Tidak seorangpun yang tahu nama aslinya, tapi beberapa orang tahu sedikit masa lalunya, yaitu bahwa ia bukan penduduk asli di situ, melainkan dibawa oleh suaminya dari kampung halamannya.

Seperti kebanyakan kota besar di dunia ini, kehidupan masyarakat kota terlalu berat untuk mereka, dan belum setahun mereka di kota itu, mereka kehabisan seluruh uangnya, dan pada suatu pagi mereka sadar bahwa mereka tidak tahu di mana mereka tidur malam nanti dan tidak sepeserpun uang ada di kantong.

Padahal mereka sedang menggendong bayi mereka yang berumur 1 tahun. Dalam keadaan panik dan putus asa, mereka berjalan dari satu jalan ke jalan lainnya, dan akhirnya tiba di sebuah jalan sepi di mana puing-puing sebuah toko seperti memberi mereka sedikit tempat untuk berteduh.

Saat itu angin Desember bertiup kencang, membawa titik-titik air yang dingin. Ketika mereka beristirahat di bawah atap toko itu, sang suami berkata: “Saya harus meninggalkan kalian sekarang. Saya harus mendapatkan pekerjaan, apapun, kalau tidak malam nanti kita akan tidur di sini.”

Setelah mencium bayinya ia pergi. Dan ia tidak pernah kembali.

Tak seorangpun yang tahu pasti kemana pria itu pergi, tapi beberapa orang seperti melihatnya menumpang kapal yang menuju ke Afrika.

Selama beberapa hari berikutnya sang ibu yang malang terus menunggu kedatangan suaminya, dan bila malam tidur di emperan toko itu.

Pada hari ketiga, ketika mereka sudah kehabisan susu, orang-orang yang lewat mulai memberi mereka uang kecil, dan jadilah mereka pengemis di sana selama 6 bulan berikutnya.

Pada suatu hari, tergerak oleh semangat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ibu itu bangkit dan memutuskan untuk bekerja. Masalahnya adalah di mana ia harus menitipkan anaknya, yang kini sudah hampir 2 tahun, dan tampak amat cantik jelita. Tampaknya tidak ada jalan lain kecuali meninggalkan anak itu di situ dan berharap agar nasib tidak memperburuk keadaan mereka.

Suatu pagi ia berpesan pada anak gadisnya, agar ia tidak ke mana-mana, tidak ikut siapapun yang mengajaknya pergi atau menawarkan gula-gula. Pendek kata, gadis kecil itu tidak boleh berhubungan dengan siapapun selama ibunya tidak di tempat.

“Dalam beberapa hari mama akan mendapatkan cukup uang untuk menyewa kamar kecil yang berpintu, dan kita tidak lagi tidur dengan angin di rambut kita”.

Gadis itu mematuhi pesan ibunya dengan penuh kesungguhan. Maka sang ibu mengatur kotak kardus di mana mereka tinggal selama 7 bulan agar tampak kosong, dan membaringkan anaknya dengan hati-hati di dalamnya. Di sebelahnya ia meletakkan sepotong roti. Kemudian, dengan mata basah ibu itu menuju ke pabrik sepatu, di mana ia bekerja sebagai pemotong kulit.

Begitulah kehidupan mereka selama beberapa hari, hingga di kantong sang Ibu kini terdapat cukup uang untuk menyewa sebuah kamar berpintu di daerah kumuh. Dengan suka cita ia menuju ke penginapan orang-orang miskin itu, dan membayar uang muka sewa kamarnya.

Tapi siang itu juga sepasang suami istri pengemis yang moralnya amat rendah menculik gadis cilik itu dengan paksa, dan membawanya sejauh 300 kilometer ke pusat kota.

Di situ mereka mendandani gadis cilik itu dengan baju baru, membedaki wajahnya, menyisir rambutnya dan membawanya ke sebuah rumah mewah di pusat kota. Di situ gadis cilik itu dijual. Pembelinya adalah pasangan suami istri dokter yang kaya, yang tidak pernah bisa punya anak sendiri walaupun mereka telah menikah selama 18 tahun.

Mereka memberi nama anak gadis itu Serrafona, dan mereka memanjakannya dengan amat sangat. Di tengah-tengah kemewahan istana itulah gadis kecil itu tumbuh dewasa. Ia belajar kebiasaan-kebiasaan orang terpelajar seperti merangkai bunga, menulis puisi dan bermain piano. Ia bergabung dengan kalangan-kalangan kelas atas, dan mengendarai Mercedes Benz ke manapun ia pergi.

Satu hal yang baru terjadi menyusul hal lainnya, dan bumi terus berputar tanpa kenal istirahat.

Pada umurnya yang ke-24, Serrafona dikenal sebagai anak gadis Gubernur yang amat jelita, yang pandai bermain piano, yang aktif di gereja, dan yang sedang menyelesaikan gelar dokternya. Ia adalah figur gadis yang menjadi impian tiap pemuda, tapi cintanya direbut oleh seorang dokter muda yang welas asih, yang bernama Geraldo.

Setahun setelah perkawinan mereka, ayahnya wafat, dan Serrafona beserta suaminya mewarisi beberapa perusahaan dan sebuah real-estate sebesar 14 hektar yang diisi dengan taman bunga dan istana yang paling megah di kota itu. Menjelang hari ulang tahunnya yang ke-27, sesuatu terjadi yang merubah kehidupan wanita itu. Pagi itu Serrafona sedang membersihkan kamar mendiang ayahnya yang sudah tidak pernah dipakai lagi, dan di laci meja kerja ayahnya ia melihat selembar foto seorang anak bayi yang digendong sepasang suami istri. Selimut yang dipakai untuk menggendong bayi itu lusuh, dan bayi itu sendiri tampak tidak terurus, karena walaupun wajahnya dilapisi bedak tetapi rambutnya tetap kusam. Sesuatu ditelinga kiri bayi itu membuat jantungnya berdegup kencang.

Ia mengambil kaca pembesar dan mengkonsentrasikan pandangannya pada telinga kiri itu. Kemudian ia membuka lemarinya sendiri, dan mengeluarkan sebuah kotak kayu mahoni. Di dalam kotak yang berukiran indah itu dia menyimpan seluruh barang-barang pribadinya, dari kalung-kalung berlian hingga surat-sura pribadi. Tapi di antara benda-benda mewah itu terdapat sesuatu terbungkus kapas kecil, sebentuk anting-anting melingkar yang amat sederhana, ringan dan bukan emas murni. Ibunya almarhum memberinya benda itu sambil berpesan untuk tidak kehilangan benda itu. Ia sempat bertanya, kalau itu anting-anting, di mana satunya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia punya. Serrafona menaruh anting-anting itu di dekat foto.

Sekali lagi ia mengerahkan seluruh kemampuan melihatnya dan perlahan-lahan air matanya berlinang. Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa bayi itu adalah dirinya sendiri. Tapi kedua pria wanita yang menggendongnya, yang tersenyum dibuat-buat, belum penah dilihatnya sama sekali.

Foto itu seolah membuka pintu lebar-lebar pada ruangan yang selama ini mengungkungi pertanyaan-pertanyaannya, misalnya: kenapa bentuk wajahnya berbeda dengan wajah kedua orang tuanya, kenapa ia tidak menuruni golongan darah ayahnya.

Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat abad terpendam, berkilat di benaknya, bayangan seorang wanita membelai kepalanya dan mendekapnya di dada. Di ruangan itu mendadak Serrafona merasakan betapa dinginnya sekelilingnya tetapi ia juga merasa betapa hangatnya kasih sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita itu. Ia seolah merasakan dan mendengar lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah lebih baik mereka mati bersama.

Matanya basah ketika ia keluar dari kamar dan menghampiri suaminya yang sedang membaca koran: “Geraldo, saya adalah anak seorang pengemis, dan mungkinkah ibu saya masih ada di jalan sekarang setelah 25 tahun?”

Itu adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari masa lalu Serrafonna. Foto hitam-putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu lembar dan disebar ke seluruh jaringan kepolisian di seluruh negeri. Sebagai anak satu-satunya dari bekas pejabat yang cukup berpengaruh di kota itu, Serrafonna mendapatkan dukungan dari seluruh kantor kearsipan, kantor surat kabar dan kantor catatan sipil. Ia membentuk yayasan-yayasan untuk mendapatkan data dari seluruh panti-panti orang jompo dan badan-badan sosial di seluruh negeri dan mencari data tentang seorang wanita.

Bulan demi bulan lewat, tapi tak ada perkembangan apapun dari usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis 25 tahun yang lalu di negeri dengan populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah. Tapi Serrafona tidak punya pikiran untuk menyerah. Dibantu suaminya yang begitu penuh pengertian, mereka terus menerus meningkatkan pencarian mereka. Kini, tiap kali bermobil, mereka sengaja memilih daerah-daerah kumuh, sekedar untuk lebih akrab dengan nasib baik. Terkadang ia berharap agar ibunya sudah almarhum sehingga ia tidak terlalu menanggung dosa mengabaikannya selama seperempat abad.

Tetapi ia tahu, entah bagaimana, bahwa ibunya masih ada, dan sedang menantinya sekarang. Ia memberitahu suaminya keyakinan itu berkali-kali, dan suaminya mengangguk-angguk penuh pengertian.

Pagi, siang dan sore ia berdoa: “Tuhan, ijinkan saya untuk satu permintaan terbesar dalam hidup saya: temukan saya dengan ibu saya”.

Tuhan mendengarkan doa itu. Suatu sore mereka menerima kabar bahwa ada seorang wanita yang mungkin bisa membantu mereka menemukan ibunya. Tanpa membuang waktu, mereka terbang ke tempat itu, sebuah rumah kumuh di daerah lampu merah, 600 km dari kota mereka. Sekali melihat, mereka tahu bahwa wanita yang separoh buta itu, yang kini terbaring sekarat, adalah wanita di dalam foto. Dengan suara putus-putus, wanita itu mengakui bahwa ia memang pernah mencuri seorang gadis kecil ditepi jalan, sekitar 25 tahun yang lalu.

Tidak banyak yang diingatnya, tapi diluar dugaan ia masih ingat kota dan bahkan potongan jalan di mana ia mengincar gadis kecil itu dan kemudian menculiknya. Serrafona memberi anak perempuan yang menjaga wanita itu sejumlah uang, dan malam itu juga mereka mengunjungi kota di mana Serrafonna diculik.

Mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan mengerahkan orang-orang mereka untuk mencari nama jalan itu. Semalaman Serrafona tidak bisa tidur. Untuk kesekian kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin bahwa ibunya masih hidup sekarang, dan sedang menunggunya, dan ia tetap tidak tahu jawabannya.

Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga, pukul 18:00 senja, mereka menerima telepon dari salah seorang staff mereka. “Tuhan maha kasih, Nyonya, kalau memang Tuhan mengijinkan, kami mungkin telah menemukan ibu Nyonya. Hanya cepat sedikit, waktunya mungkin tidak banyak lagi.”

Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi, dipinggiran kota yang kumuh dan banyak angin. Rumah-rumah di sepanjang jalan itu tua-tua dan kusam. Satu, dua anak kecil tanpa baju bermain-main ditepi jalan. Dari jalanan pertama, mobil berbelok lagi kejalanan yang lebih kecil, kemudian masih belok lagi kejalanan berikutnya yang lebih kecil lagi.

Semakin lama mereka masuk dalam lingkungan yang semakin menunjukkan kemiskinan. Tubuh Serrrafona gemetar, ia seolah bisa mendengar panggilan itu. “Lekas, Serrafonna, mama menunggumu, sayang”. Ia mulai berdoa, “Tuhan, beri saya setahun untuk melayani mama. Saya akan melakukan apa saja”.

Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, dan ia bisa membaui kemiskinan yang amat sangat, ia berdoa: “Tuhan beri saya sebulan saja”.

Mobil belok lagi kejalanan yang lebih kecil, dan angin yang penuh derita bertiup, berebut masuk melewati celah jendela mobil yang terbuka. Ia mendengar lagi panggilan mamanya, dan ia mulai menangis: “Tuhan, kalau sebulan terlalu banyak, cukup beri kami seminggu untuk saling memanjakan.”

Ketika mereka masuk belokan terakhir, tubuhnya menggigil begitu hebat sehingga Geraldo memeluknya erat-erat. Jalan itu bernama Los Felidas. Panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan yang tampak dari sisi ke sisi, dari ujung ke ujung. Di tengah-tengah jalan itu, di depan puing-puing sebuah toko, tampak onggokan sampah dan kantong-kantong plastik, dan ditengah-tengahnya, terbaring seorang wanita tua dengan pakaian sehitam jelaga, tidak bergerak-gerak.

Mobil mereka berhenti diantara 4 mobil mewah lainnya dan 3 mobil polisi. Di belakang mereka sebuah ambulans berhenti, diikuti empat mobil rumah sakit lain. Dari kanan kiri muncul pengemis-pengemis yang segera memenuhi tempat itu.

“Belum bergerak dari tadi.” lapor salah seorang. Pandangan Serrafona gelap tapi ia menguatkan dirinya untuk meraih kesadarannya dan turun. Suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar, memburu ibu mertuanya. “Serrafona, kemari cepat! Ibumu masih hidup, tapi kau harus menguatkan hatimu.”

Serrafona memandang tembok dihadapannya, dan ingat saat ia menyandarkan kepalanya ke situ. Ia memandang lantai di kakinya dan ingat ketika ia belajar berjalan. Ia membaui bau jalanan yang busuk, tapi mengingatkannya pada masa kecilnya. Air matanya mengalir keluar ketika ia melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ke tangan wanita yang terbaring itu dan memberinya isyarat untuk mendekat.

“Tuhan”, ia meminta dengan seluruh jiwa raganya, “beri kami sehari, Tuhan, biarlah saya membiarkan mama mendekap saya dan memberitahunya bahwa selama 25 tahun ini hidup saya amat bahagia. Jadi mama tidak menyia-nyiakan saya”.

Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu kedadanya. Wanita tua itu perlahan membuka matanya dan memandang keliling, ke arah kerumunan orang-orang berbaju mewah dan perlente, ke arah mobil-mobil yang mengkilat dan ke arah wajah penuh air mata yang tampak seperti wajahnya sendiri ketika ia masih muda.

“Mama….”, ia mendengar suara itu, dan ia tahu bahwa apa yang ditunggunya tiap malam – antara waras dan tidak – dan tiap hari – antara sadar dan tidak – kini menjadi kenyataan. Ia tersenyum, dan dengan seluruh kekuatannya menarik lagi jiwanya yang akan lepas.

Perlahan ia membuka genggaman tangannya, tampak sebentuk anting-anting yang sudah menghitam. Serrafona mengangguk, dan tanpa perduli sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu dan merebahkan kepalanya di dada mamanya.

“Mama, saya tinggal di istana dan makan enak tiap hari. Mama jangan pergi dulu. Apapun yang mama mau bisa kita lakukan bersama-sama. Mama ingin makan, ingin tidur, ingin bertamasya, apapun bisa kita bicarakan. Mama jangan pergi dulu… Mama…”

Ketika telinganya menangkap detak jantung yang melemah, ia berdoa lagi kepada Tuhan: “Tuhan maha pengasih dan pemberi, Tuhan….. satu jam saja…. …satu jam saja…..”

Tapi dada yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja dan puluhan orang yang membisu. Hanya senyum itu, yang menandakan bahwa penantiannya selama seperempat abad tidak berakhir sia-sia
Sumber : AkuPercaya.com

Xu Yuehua, seorang wanita tanpa kaki yang mendedikasikan hidupnya untuk merawat sebuah yatim piatu di China, sungguh perkerjaan yang luar biasa. Dulunya Xu Yuehua adalah seorang gadis kecil yang normal seperti teman-temannya. Sampai pada suatu saat, waktu mengumpulkan batubara di rel kereta api. dan sebuah kecelakaan kereta api membuat Xu kehilangan kedua kakinya pada usia 13 tahun. Tidak ada kaki di usia yang sangat muda mungkin bagai dunia telah berakhir bagi Xu yuenhua. Apalagi Xu Yuehua saat itu adalah yatim piatu. Tidak semua orang bisa menghadapi kenyataan hidup ini.

Di saat-saat rasa frustasi menyelimutinya, Xu Yuehua segera sadar untuk menjadikan hidup dan tubuhnya berguna untuk sesama selama dia diberi kesempatan hidup di dunia. Ia telah merasakan waktu kecil sebagai yatim piatu dulu, dan dengan mengandalkan dua kursi kayu pendek untuk menyangga tubuhnya dan untuk berjalan, Xu melanjutkan hidupnya dengan tujuan dan semangat yang mulia, yaitu mengasuh dan membesarkan anak-anak yatim piatu .
Di Xiangtan Social Welfare House yang membantunya melalui masa-masa sulit ini, Xu menemukan panggilannya. Saat ini, Xu telah menjalani 37 tahun merawat anak-anak yatim piatu di lembaga kemanusiaan ini. Dengan keterbatasannya, sudah 130 anak yang dibesarkan Xu. Memang tidak mudah untuk berpindah dari ranjang yang satu ke ranjang lain menggunakan bangku pendek. Belum lagi saat harus menyusui, meredakan tangisan bayi yang rewel dan mengajak mereka bermain. Namun wanita yang disebut ‘The Stool Mama’ ini melakukan semua hal dengan sebaik-baiknya.
Dengan melakukan yang terbaik, satu per satu kekhawatiran dalam kehidupan Xu Yuehua seakan dijawab oleh Yang Maha Kuasa. Pada tahun 1987, Xu menikah dengan Lai Ziyuan, seorang petani sayur di panti asuhan yang sama dan melahirkan anak laki-laki, Lai Mingzhi, tiga tahun kemudian. Xu mengaku sangat bahagia dengan hidup dan pengabdiannya.
Dalam benaknya, cacat fisik bukanlah menjadi batasan ataupun halangan seseorang untuk melakukan sesuatu dan berbagi demi mengurusi orang lain. Bahkan dengan kerendahannya hatinya yang sangat tulus, perempuan tersebut mengatakan, dirinya bukanlah orang hebat. Apa yang dilakukannya semata-mata hanya untuk memberikan kasih sayang seorang ibu. Untuk anak-anak yang nasibnya kurang beruntung, karena telah kehilangan orang tua.

Ia telah merasakan kehilangan kedua orangtuanya sejak masih kecil. Mulai saat itulah, dirinya dirawat di Rumah Yatim Piatu Xiantan. Dengan menggunakan kursi kecil untuk menggantikan kedua kakinya tersebut, Xu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Seperti memberi makan, mencuci, mengganti selimut, bahkan kadang membuatkan sepatu untuk 130 anak yatim asuhannya.

Mengasuh dengan Sepenuh Hati
Seperti dikutip dari Orange.co.uk, Rabu (22/12), Sheng Li, salah seorang anak asuh Xu Yueahua menuturkan, bahwa Xu merupakan pahlawan di mata anak-anak penghuni rumah panti asuhan Xiantan. “Tanpa Ibu Besar (panggilan untuk Xu Yuehua), mungkin saya sudah meninggal sejak lama. Suara kursi kecil yang menjadi tanda datangnya Ibu Besar merupakan suara yang terindah yang pernah saya dengar hingga saat ini,” ungkap Sheng Li.

Meski telah memiliki keluarga sendiri Xu tetap merawat anak-anak di panti asuhan di tempat dirinya dulu dibesarkan.  “Saya bukanlah orang hebat. Saya hanya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan, yaitu memberikan kasih sayang seorang ibu untuk anak-anak malang itu,” ucap Xu merendah.

Sebuah pelajaran yang sangat berharga, bahwa kebahagiaan selalu ada dalam setiap orang yang selalu berpikir positif, berpikir maju dan tidak berkubang dalam penderitaannya. Keberhasilan ada dalam orang yang tidak selalu melihat kekurangan / kelemahan dalam hidupnya, tetapi justru mempergunakan kekurangan tersebut sebagai suatu potensi yang Allah berikan untuk membuat dirinya semakin maju dan dapat memberkati banyak orang.
Dan inilah keseharian Xu Yehua, yang di dalam keterbatasannya ia masih dapat mengerjakan pekerjaan mulia dan tidak menjadikan keterbatasannya sebagai hambatan.
“Jadikanlah hidupmu inspirasi bagi banyak orang… Itulah hidup yang sesungguhnya.”
Yesaya 60:1 “Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan Tuhan terbit atasmu.”
God bless you !!

Bersepeda bersama Yesus :)

Posted: July 24, 2012 in Renungan Harian

Pada awalnya, aku memandang Tuhan sebagai seorang pengamat; seorang hakim yang mencatat segala kesalahanku, sebagai bahan pertimbangan apakah aku akan dimasukkan ke surga atau dicampakkan ke dalam neraka pada saat aku mati.
Dia terasa jauh sekali, seperti seorang raja. Aku tahu Dia melalui gambar-gambar-Nya, tetapi aku tidak mengenal-Nya. Ketika aku bertemu Yesus, pandanganku berubah. Hidupku menjadi bagaikan sebuah arena balap sepeda, tetapi sepedanya adalah sepeda tandem, dan aku tahu bahwa Yesus duduk di belakang, membantu aku mengayuh pedal sepeda. Aku tidak tahu sejak kapan Yesus mengajakku bertukar tempat, tetapi sejak itu hidupku jadi berubah. Saat aku pegang kendali, aku tahu jalannya. Terasa membosankan, tetapi lebih dapat diprediksi … biasanya, hal itu tak berlangsung lama.
Tetapi, saat Yesus kembali pegang kendali, Ia tahu jalan yang panjang dan menyenangkan. Ia membawaku mendaki gunung, juga melewati batu-batu karang yang terjal dengan kecepatan yang menegangkan. Saat-saat seperti itu, aku hanya bisa menggantungkan diriku sepenuhnya pada-Nya! Terkadang rasanya seperti sesuatu yang ‘gila’, tetapi Ia berkata, “Ayo, kayuh terus pedalnya!” Kadang Aku takut, khawatir dan bertanya, “Aku mau dibawa ke mana?” Yesus tertawa dan tak menjawab, dan aku mulai belajar percaya.
Aku melupakan kehidupan yang membosankan dan memasuki suatu petualangan baru yang mencengangkan. Dan ketika aku berkata, “AKU TAKUT !” Yesus menurunkan kecepatan, mengayuh santai sambil menggenggam tanganku. Ia membawaku kepada orang-orang yang menyediakan hadiah-hadiah yang aku perlukan… orang-orang itu membantu menyembuhkan aku, mereka menerimaku dan memberiku sukacita. Mereka membekaliku dengan hal-hal yang aku perlukan untuk melanjutkan perjalanan… perjalananku bersama Tuhanku.
Lalu, kami pun kembali mengayuh sepeda kami. Kemudian, Yesus berkata, “Berikan hadiah-hadiah itu kepada orang-orang yang membutuhkannya; Jika tidak, hadiah-hadiah itu akan menjadi beban bagi kita.” Maka, aku pun melakukannya. Aku membagi-bagikan hadiah-hadiah itu kepada orang-orang yang kami jumpai, sesuai kebutuhan mereka. Aku belajar bahwa ternyata memberi adalah sesuatu yang membahagiakan.
Pada mulanya, aku tidak ingin mempercayakan hidupku sepenuhnya kepadaNya. Aku takut Ia menjadikan hidupku berantakan; tetapi Yesus tahu rahasia mengayuh sepeda. Ia tahu bagaimana menikung di tikungan tajam, Ia tahu bagaimana melompati batu karang yang tinggi, Ia tahu bagaimana terbang untuk mempercepat melewati tempat-tempat yang menakutkan. Aku belajar untuk diam sementara terus mengayuh… menikmati pemandangan dan semilir angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahku selama perjalanan bersama Sahabatku yang setia: Yesus Kristus. Dan ketika aku tidak tahu apa lagi yang harus aku lakukan, Yesus akan tersenyum dan berkata… “Mengayuhlah terus, Aku bersamamu.”

Sifat Kepiting

Posted: July 24, 2012 in Renungan Harian

Mungkin banyak yang tahu wujud kepiting, tapi tidak banyak yang tahu sifat kepiting. Semoga Anda tidak memiliki sifat kepiting yang dengki. Di Filipina, masyarakat pedesaan gemar sekali menangkap dan memakan kepiting sawah.

Kepiting itu ukurannya kecil namun rasanya cukup lezat. Kepiting-kepiting itu dengan mudah ditangkap di malam hari, lalu dimasukkan ke dalam baskom/wadah, tanpa diikat.

Keesokkan harinya, kepiting-kepiting ini akan direbus dan lalu disantap untuk lauk selama beberapa hari. Yang paling menarik dari kebiasaan ini, kepiting-kepiting itu akan selalu berusaha untuk keluar dari baskom, sekuat tenaga mereka, dengan menggunakan capit-capitnya yang kuat.

Namun seorang penangkap kepiting yang handal selalu tenang meskipun hasil buruannya selalu berusaha meloloskan diri. Resepnya hanya satu, yaitu si pemburu tahu betul sifat si kepiting. Bila ada seekor kepiting yang hampir meloloskan diri keluar dari baskom, teman-temannya pasti akan menariknya lagi kembali ke dasar. Jika ada lagi yang naik dengan cepat ke mulut baskom, lagi-lagi temannya akan menariknya turun… dan begitu seterusnya sampai akhirnya tidak ada yang berhasil keluar. Keesokan harinya sang pemburu tinggal merebus mereka semua dan matilah sekawanan kepiting yang dengki itu.
Begitu pula dalam kehidupan ini… tanpa sadar kita juga terkadang menjadi seperti kepiting-kepiting itu. Yang seharusnya bergembira jika teman atau saudara kita mengalami kesuksesan kita malahan mencurigai, jangan-jangan kesuksesan itu diraih dengan jalan yang nggak bener.
Apalagi di dalam bisnis atau hal lain yang mengandung unsur kompetisi, sifat iri, dengki, atau munafik akan semakin nyata dan kalau tidak segera kita sadari tanpa sadar kita sudah membunuh diri kita sendiri.

Kesuksesan akan datang kalau kita bisa menyadari bahwa di dalam bisnis atau persaingan yang penting bukan siapa yang menang, namun terlebih penting dari itu seberapa jauh kita bisa mengembangkan diri kita seutuhnya. Jika kita berkembang, kita mungkin bisa menang atau bisa juga kalah dalam suatu persaingan, namun yang pasti kita menang dalam kehidupan ini.

Pertanda seseorang adalah ‘kepiting’:

1. Selalu mengingat kesalahan pihak luar (bisa orang lain atau situasi) yang sudah lampau dan menjadikannya suatu prinsip/pedoman dalam bertindak
2. Banyak mengkritik tapi tidak ada perubahan
3. Hobi membicarakan kelemahan orang lain tapi tidak mengetahui kelemahan dirinya sendiri sehingga ia hanya sibuk menarik kepiting-kepiting yang akan keluar dari baskom dan melupakan usaha pelolosan dirinya sendiri. ..Seharusnya kepiting-kepiting itu tolong-menolong keluar dari baskom, namun yah… dibutuhkan jiwa yang besar untuk melakukannya…

Coba renungkan berapa waktu yang Anda pakai untuk memikirkan cara-cara menjadi pemenang. Dalam kehidupan sosial, bisnis, sekolah, atau agama. Dan gantilah waktu itu untuk memikirkan cara-cara pengembangan diri Anda menjadi pribadi yang sehat dan sukses.

Semangkuk Nasi Putih

Posted: July 19, 2012 in Renungan Harian

Cerita ini berdasarkan kisah nyata yang terjadi di negri Tiongkok. Pada sebuah senja dua puluh tahun yang lalu, terdapat seorang pemuda yang kelihatannya seperti seorang mahasiswa berjalan mondar mandir didepan sebuah rumah makan  cepat saji di kota metropolitan, menunggu sampai tamu direstoran sudah agak sepi, dengan sifat yang segan dan malu-malu dia masuk kedalam restoran tersebut.
Kemudian pemuda itu berkata: “Tolong sajikan saya semangkuk nasi putih.”
dengan kepala menunduk pemuda ini berkata kepada pemilik rumah makan.
Sepasang suami istri muda pemilik rumah makan, memperhatikan pemuda ini hanya meminta semangkuk nasi putih dan tidak memesan lauk apapun, lalu menghidangkan semangkuk penuh nasi putih untuknya.
Ketika pemuda ini menerima nasi putih dan sedang membayar lalu berkata dengan pelan: “dapatkah menyiram sedikit kuah sayur diatas nasi saya.”
Istri pemilik rumah berkata sambil tersenyum:”Ambil saja apa yang engkau suka, tidak perlu bayar !”
Sebelum habis makan, pemuda ini berpikir:” kuah sayur gratis.”
Lalu memesan semangkuk lagi nasi putih.
” Semangkuk tidak cukup anak muda, kali ini saya akan berikan lebih banyak lagi nasinya.”
Dengan tersenyum ramah pemilik rumah makan berkata kepada pemuda ini.
“Bukan, saya akan membawa pulang, besok akan membawa kesekolah sebagai makan siang saya !”
Mendengar perkataan pemuda ini, pemilik rumah makan berpikir pemuda ini tentu dari keluarga miskin diluar kota, demi menuntut ilmu datang kekota, mencari uang sendiri untuk sekolah, kesulitan dalam keuangan itu sudah pasti.
Berpikir sampai disitu pemilik rumah makan lalu menaruh sepotong daging dan sebutir telur disembunyikan dibawah nasi, kemudian membungkus nasi tersebut sepintas terlihat hanya sebungkus nasi putih saja dan memberikan kepada pemuda ini.
Melihat perbuatannya, istrinya mengetahui suaminya sedang membantu pemuda ini, hanya dia tidak mengerti, kenapa daging dan telur disembunyikan dibawah nasi?
Suaminya kemudian membisik kepadanya :”Jika pemuda ini melihat kita menaruh lauk dinasinya dia tentu akan merasa bahwa
kita bersedekah kepadanya, harga dirinya pasti akan tersinggung lain kali dia tidak akan datang lagi, jika dia ketempat lain hanya membeli semangkuk nasi putih, mana ada gizi untuk bersekolah.”
“Engkau sungguh baik hati, sudah menolong orang masih menjaga harga dirinya.”
“Jika saya tidak baik, apakah engkau akan menjadi istriku ?”
Sepasang suami istri muda ini merasa gembira dapat membantu orang lain.
“Terima kasih, saya sudah selesai makan.”
Pemuda ini pamit kepada mereka.
Ketika dia mengambil bungkusan nasinya, dia membalikan badan melihat dengan pandangan mata berterima kasih kepada mereka.
“Besok singgah lagi, engkau harus tetap bersemangat !”
katanya sambil melambaikan tangan, dalam perkataannya bermaksud mengundang pemuda ini besok jangan segan-segan datang lagi.
Sepasang mata pemuda ini berkaca-kaca terharu, mulai saat itu setiap sore pemuda ini singgah kerumah makan mereka, sama seperti biasa setiap hari hanya memakan semangkuk nasi putih dan membawa pulang sebungkus untuk bekal keesokan hari.
Sudah pasti nasi yang dibawa pulang setiap hari terdapat lauk berbeda yang tersembunyi setiap hari, sampai pemuda ini tamat, selama 20 tahun pemuda ini tidak pernah muncul lagi.
Pada suatu hari, ketika suami ini sudah berumur 50 tahun lebih, pemerintah melayangkan sebuah surat bahwa rumah makan mereka harus digusur, tiba-tiba kehilangan mata pencaharian dan mengingat anak mereka yang disekolahkan diluar negeri yang perlu biaya setiap bulan membuat suami istri ini berpelukan menangis dengan panik.
Pada saat ini masuk seorang pemuda yang memakai pakaian bermerek kelihatannya seperti direktur dari kantor bonafid.
“Apa kabar?, saya adalah wakil direktur dari sebuah perusahaan, saya diperintah oleh direktur kami mengundang kalian membuka kantin di perusahaan kami, perusahaan kami telah menyediakan semuanya kalian hanya perlu membawa koki dan keahlian kalian kesana, keuntungannya akan dibagi 2 dengan perusahaan.”
“Siapakah direktur diperusahaan kamu ?, mengapa begitu baik terhadap kami? saya tidak ingat mengenal seorang yang begitu mulia !” Sepasang suami istri ini berkata dengan terheran.
“Kalian adalah penolong dan kawan baik direktur kami, direktur kami paling suka makan telur dan dendeng buatan kalian, hanya itu yang saya tahu, yang lain setelah kalian bertemu dengannya dapat bertanya kepadanya.”
Akhirnya, pemuda yang hanya memakan semangkuk nasi putih ini muncul, setelah bersusah payah selama 20 tahun akhirnya pemuda ini dapat membangun kerajaaan bisnisnya dan sekarang menjadi seorang direktur yang sukses.
Dia merasa kesuksesan pada saat ini adalah berkat bantuan sepasang suami istri ini, jika mereka tidak membantunya dia tidak mungkin akan dapat menyelesaikan kuliahnya dan menjadi sesukses sekarang.
Setelah berbincang-bincang, suami istri ini pamit hendak meninggalkan kantornya. Pemuda ini berdiri dari kursi direkturnya dan dengan membungkuk dalam-dalam berkata kepada mereka:”bersemangat ya ! dikemudian hari perusahaan tergantung kepada kalian, sampai bertemu besok !”
Kemurahan Hati merupakan suatu hal yang selalu mendatangkan kebaikan. Karena itu jangan pernah bosan berbuat kebaikan, kemurahan, kasih karena itu akan berbuah dan membuat segala sesuatunya indah pada waktunya.

Hotel Waldorf – Astoria USA

Suatu malam ada seorang pria tua dengan istrinya masuk sebuah lobi hotel kecil di Philadelphia.
“Semua hotel besar di kota ini telah terisi, bisakah kau beri kami satu kamar saja?” kata pria tua itu. Pegawai hotel menjawab “Semua kamar telah penuh karena ada 3 event besar yang bersamaan diadakan di kota ini, tapi sepertinya saya tidak dapat membiarkan pasangan yang baik seperti Anda untuk kehujanan di luar sana pada jam satu dini hari seperti ini. Bersediakah anda berdua tidur di kamar saya..?”
Keesokan harinya pada saat membayar tagihan, pria tua itu berkata pada si pegawai hotel “Kamulah orang yang seharusnya jadi bos sebuah hotel terbaik di USA, karena kamu melakukan pekerjaanmu dengan hati yang mau melayani, mungkin suatu hari saya bangun sebuah hotel untukmu”. Pegawai hotel itu hanya tersenyum melupakan kata-kata pria tua itu, karena dia pikir dirinya hanya seorang pegawai biasa.
Kira-kira dua tahun kemudian, dia menerima surat yang berisi tiket ke New York permintaan agar dia menjad tamu pasangan tua tersebut.
Setelah berada di New York, pria tua tersebut mengajak pegawai hotel itu ke sudut jalan antara Fifth Avenue Thirty-Fourth Street, dimana dia tunjuk sebuah bangunan baru yang luar biasa megah dan katakan “Itulah hotel yang saya bangun untuk kamu kelola”.
Pegawai hotel itu adalah George Charles Boldt, yang terima tawaran William Waldorf Astor, si pria tua itu untuk menjadi pimpinan dari Hotel Waldorf-Astoria, yg merupakan hotel terbaik di dunia.
Ternyata sikap dalam bekerja sangat menentukan keberhasilan. Bila bekerja hanya untuk mencari uang semata, maka karierhasil yang diperoleh akan biasa saja. Namun jika bekerja dengan hati yang mau melayani orang lain, dengan motivasi bahwa lewat pekerjaan harus memberi dampak dan menjadi berkat orang lain, maka akan memperoleh hasil yang luar biasa !
 Inilah William Waldorf Astor, Pria tua yang menginap itu…
Dan inilah George Charles Boldt, Pegawai hotel yang berjiwa melayani.
Semoga kisah ini menginspirasi kita agar kita mau untuk selalu melayani dimanapun kita berada, baik di tempat kerja, keluarga, teman-teman, gereja, dll. Seperti firman Tuhan berkata:
Lukas 22:26 – “Tetapi kamu tidaklah demikian, melainkan yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan”
Tuhan Yesus memberkati  🙂